BERITA UIN
Pulang
“Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri” (Rumi).
UINSGD.AC.ID (Humas) — Siapapun yang dipanggil “pulang” duluan, Allah azza wa jalla berkenan mengampuni segenap khilaf dan salahnya. Memaafkan kekeliruan dan segala dosa yang pernah dilakukannya.
Siapapun yang telah selesai menunaikan pengabdiannya di dunia, Allah azza wa jalla berkenan menyambutnya dengan senyuman, tangan terbuka dan menerimanya dengan bahagia.
Siapapun yang duluan kembali ke asal-Nya, Allah azza wa jalla berkenan menyimpan seluruh kebaikan dan mengekalkannya dalam cinta. Sebagaimana kata Rumi, “Ketika kami mati, jangan mencari makam kami di bawah tanah. Kalian bisa menemukan kami di dalam hati-hati yang penuh dengan cinta.”
Siapapun yang telah sempurna mengkhidmati perjanjian amal soleh dan kebaikan, Allah azza wa jalla berkenan mengganjarnya dengan syurga sebagai tempat kembali yang abadi. Mengumpulkannya bersama para pendahulu yang solih dan seluruh manusia yang diridhai-Nya.
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya! Masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku!” [Al-Fajr: 27-30];
Datang dan pergi. Tiba dan Kembali. Lahir dan mati.
Biner opisisi ini seumpama menjadi hukum “baja sejarah” yang tak bisa ditampik. Keniscayaan kehidupan seakan menetapkan fakta yang tak bisa digugat bahwa “kepergian”, “Kembali”, dan “mati” adalah faktisitas yang pasti ditemui.
Tak ada yang sanggup mengelak. Tak satupun manusia yang bisa menghunus pedang untuk bertarung melawan dan merobohkan hukum kehidupan itu. Segera setelah manusia lahir, di lehernya seolah tergantung kalung keniscayaan yang menetapkan takdir dan “das umgreifende” (batas-batas yang melingkupi) kehidupannya.
Dengan itu, manusia seumpama berjalan dari titik yang satu untuk selesai dan mengakhiri misi kesejarahan dan petualangannya di titik berikutnya. “Pergi”, “kembali” dan “mati” itulah titik akhir itu.
Kematian mengakhiri seluruh eksistensi manusia, begitu menurut Heidegger. Kematian adalah zenit dari totalitas Ada manusia selaku Dasein, tetapi persis pada titik itu pula manusia selaku Dasein kehilangan Adanya. Suatu titik nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai “Ada-di-dalam-dunia”. Simpulnya, kematian adalah momen yang paling otentik dan eksistensial bagi Dasein. Kematian adalah “Jemeinigkeit” (dalam segala hal milikku). Katanya Heideger, “begitu seorang manusia lahir, ia sudah terlalu tua untuk mati”. Manusia adalah “Ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode).
Dan hari-hari ini, mereka yang pergi, kembali dan mati begitu banyak jumlahnya. Mungkin saudara, orang tua, teman, kerabat, atau yang terkasih harus menjemput takdirnya yang pasti, mati.
“Akh, jangan terlalu dipikirkan! Semua orang pasti mati”, begitu kata teman saya. Lalu kembali dia sibuk dan fokus dengan gawai di tangannya. Teman saya benar, bahwa semua orang pasti mati, tapi menurut Heideger, inilah ciri-ciri “das Man”. Sosok manusia yang tenggelam dalam anggapan umum yang niscaya dan tak perlu mencemaskannya. Teman saya ini tidak hanya lupa akan Adanya, melainkan juga lupa akan kemungkinan ketiadaannya.
Bagaimana mengkhidmati kematian secara otentik?
“Vorlaufen”, begitu kata Heideger. Arti kata ini adalah “lari ke depan”. Sederhananya, ia bisa kita artikan sebagai “antisipasi”. Mengantisipasi kematian terjadi ketika kita sedang diselimuti kabut krisis dan seolah kehilangan petunjuk untuk mengambil keputusan penting yang menentukan arah hidup.
Di titik ini, saya lalu ingat nasihat agama, “isy kariman au mut syahidan”. “Lari ke depan untuk mengantisipasi”, saya kira adalah “hidup mulia atau mati syahid”. Tentang ini Rumi punya penegasan yang menarik. Menurutnya, bahwa baik hidup mulia maupun mati syahid adalah bentuk kehormatan tertinggi. “Hidup mulia” seumpama persiapan dengan bekal yang cukup untuk menyambut datangnya kematian yang agung, sementara mati syahid adalah penggenapan dari kehidupan yang mulia.
Dengan indah, Rumi melukiskan itu dalam syairnya, “Hidupmu adalah persembahan kepada Sang Maha Kuasa, Jadikan setiap napasmu tanda pengabdian. Dan jika kau mati dalam cinta dan pengorbanan, Namamu akan terukir dalam kemuliaan keabadian.” Allahu a’lam.
Radea Juli A. Hambali, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Berita Lainnya
-
Bentuk PUSPENMA, PTKIN Optimis Tata Kelola Beasiswa Semakin Baik
24 December 2024 -
Pulang
24 December 2024 -
Kabar Duka dari Pascasarjana
23 December 2024 -
UIN Bandung Masuk 15 PTN Bereputasi Versi Scimago 2024
22 December 2024