BERITA UIN
Sekilas Mengenai Perpustakaan Alexandria Mesir
Lokasi dan Koleksi Perpustakaan
UINSGD.AC.ID (Humas) — Kini, lokasi perpustakaan “legendaris” ini berada di sisi pantai timur Mediterania, Iskandariyah (Arab) atau Alexandria (Latin), Mesir. Perpustakaan ini dibangun di kota Alexandria, yang merupakan salah satu kota penting di zaman kuno yang didirikan oleh Alexander Agung. Perpustakaan Alexandria masa Modern dibangun di lokasi yang berbeda dari lokasi asli yang hancur. Lokasi baru ini terletak di dekat pantai, di sebelah timur kota Alexandria, Mesir. Hal ini memungkinkan perpustakaan untuk memiliki akses yang lebih mudah ke laut dan memanfaatkan kondisi geografis yang lebih stabil.
Perpustakaan ini mampu menampung 8 juta buku, walau koleksinya baru sekitar 250 ribu judul buku saja. Perpustakaan ini menyediakan berbagai fasilitas, seperti 500 unit komputer berbahasa Arab dan Inggris untuk mencari katalog buku, ruang baca berkapasitas 2.000 orang, conference room, ruang pustaka Braille Taha Husein khusus tuna netra, pustaka anak-anak, museum manuskrip kuno, lima lembaga riset, dan kamar-kamar riset yang bisa dipakai gratis. Awalnya, Perpustakaan dimaksudkan untuk mengoleksi naskah-naskah kuno dari Mesir dan Mesopotamia, tetapi kemudian fungsinya berkembang lebih luas lagi. Perpustakaan ini memiliki manuskrip klasik tentang aneka pengetahuan dari abad 10 M-18 M, mencakup lebih dari 5.000 koleksi penting. Termasuk di dalamnya, koleksinya terdiri dari ratusan gulungan papyrus, yang merupakan sumber utama penyimpanan informasi pada masa itu.
Informasi tentang keberadaan dan kontribusi Perpustakaan Alexandria ini berasal dari “Surat Aristeas”. Surat Aristeas juga dikenal sebagai “Surat untuk Philocrates” (“Surat untuk Filokrates”). Penulis surat itu menyatakan diri sebagai seorang punggawa istana Ptolemaios II Philadelphos (memerintah 281-246 SM). Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan proses pembuatan terjemahan bahasa Yunani dari Kitab-kitab Taurat, yang kemudian dikenal sebagai Septuaginta. Namun, di dalamnya terdapat juga penjelasan mengenai Perpustakaan Alexandria ini. Meskipun Surat Aristeas tidak secara langsung menyebutkan pembangunan Perpustakaan Aleksandria, namun ia menyebutkan perpustakaan sebagai tempat penyimpanan salinan Septuaginta. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan telah ada dan berfungsi sebagai pusat ilmu pengetahuan yang aktif pada masa itu. Keberadaan surat ini mematahkan anggapan yang mengatakan bahwa gagasan tentang perpustakaan besar ini berasal dari Alexander yang Agung. Namun, surat Aristeas menunjukkan bahwa Ptolemy I Soter yang sebenarnya dianggap sebagai inisiator pembangunan perpustakaan ini.
Surat Aristeas disebutkan dan dikutip dalam teks-teks kuno lainnya, seperti Antiquitates Iudaicae karya Yosefus, Life of Moses karya Filo dari Aleksandria, dan Praeparatio evangelica karya Eusebius. Beberapa sarjana telah mengekspos karakter fiktif surat Aristeas, seperti Luis Vives dalam tulisannya In XXII libros de civitate Dei commentaria. Namun, pada perjalanannya, surat ini banyak mempengaruhi pemahaman masyarakat, khususnya para pustakawan, tentang sejarah Perpustakaan Alexandria dengan memberikan informasi yang spesifik dan detail tentang perpustakaan tersebut, meskipun beberapa aspeknya masih diperdebatkan.
Arsitektural Perpustakaan
Bangunannya sangat megah, artistik, dan eksotik, terdiri dari 5 lantai di bawah tanah dan 5 lantai di atas tanah. Awalnya, bangunan ini berbentuk bulat dengan atap miring dan terbenam dalam tanah. Di depan bangunan, terdapat kolam untuk menetralkan suhu pustaka. Kolam ini digunakan untuk menetralkan suhu pustaka, yang merupakan teknik untuk menjaga kestabilan lingkungan penyimpanan papyrus. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut berusaha untuk mengoptimalkan kondisi penyimpanan untuk memperpanjang umur papyrus. Papyrus dan manuskrip disimpan di lantai-lantai bawah, yang lebih stabil dan terlindung dari perubahan suhu dan kelembaban di atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut memahami pentingnya menjaga kondisi lingkungan penyimpanan yang stabil.
Dinding luar perpustakaan terbuat dari batu granit Zimbabwe dengan ukuran 2 x 1 meter. Dinding ini dipahat dengan berbagai huruf dari berbagai bahasa, mencerminkan tingginya peradaban manusia dalam bidang tulis menulis. Dinding ini bukan hanya sebagai struktur bangunan tetapi juga sebagai simbol peradaban manusia dalam bidang tulis menulis. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga dan mempromosikan budaya penulisan.
Pendirian dan Pengembangan Perpustkaan Pada Masa Kuno: Kontribusi Dinasti Ptolemy
Pada masanya, perpustakaan Alexandria, yang juga dikenal sebagai Bibliotheca Alexandrina, merupakan salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting di zaman kuno. Didirikan di bawah Dinasti Ptolemaik Mesir pada tahun 323 sebelum Masehi (SM). Sejarah mencatat bahwa Ptolemy I Soter sebagai pendiri dan Ptolemy II Philadelphus yang mengumpulkan buku-buku pertama untuk koleksi perpustakaan. Perpustakaan ini memiliki koleksi yang sangat beragam, termasuk lebih dari 700.000 gulungan papirus dan manuskrip dari berbagai penjuru dunia. Koleksinya mencakup karya-karya para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, naskah-naskah kuno dari Mesir dan Mesopotamia, serta berbagai buku tentang ilmu pengetahuan, matematika, dan astronomi. Pada jamannya, perpustakaan ini diibaratkan sebagai “harta katun” bagi peradaban manusia karena kekayaan koleksinya.
Perpustakaan Alexandria, yang didirikan di bawah Dinasti Ptolemaik Mesir, memiliki beberapa tokoh penting yang berkontribusi pada perkembangannya. Surat Aristeas memaparkan bahwa Dinasti Ptolemy berperan penting dalam perintisan dan pengembangan Perpustakaan Alexandria melalui pendirian, pengembangan koleksi, pengembangan struktur bangunan, pengembangan fungsi perpustakaan, dan dukungan terhadap cendekiawan. Mereka menjadikan Alexandria sebagai pusat intelektual terkemuka pada masanya. Dinasti Ptolemy mendukung para cendekiawan dengan memberi dorongan kepada mereka untuk tinggal di Alexandria. Masing-masing raja memiliki minat yang berbeda-beda dalam ilmu pengetahuan, seperti Ptolemy I Soter yang ahli sejarah, Ptolemy II Philadelphus yang ahli hewan, dan Ptolemy III Eurgetes yang ahli literatur.
Pertama, Ptolemy I Soter (322-285 SM), yakni Raja pertama Dinasti Ptolemaik yang mendirikan Perpustakaan Alexandria. Ia dianggap sebagai inisiator pembangunan Perpustakaan Alexandria. Meskipun tidak ada catatan pasti bahwa ia sendiri mendirikan perpustakaan, ia memulai proses pembangunan yang akan dilanjutkan oleh penerusnya. Selain itu, ia juga membangun kompleks kuil yang dikenal sebagai Mouseion, atau Temple to the Muses. Mouseion ini merupakan kuil untuk sembilan dewi seni, pusat pembelajaran, dan juga pusat budaya untuk interpretasi, debat filosofis, dan intelektual. Lama kelamaan, istilah Mouseian menjadi dasar istilah Musaeum, sebuah tempat belajar yang menjadi cikal bakal kata museum modern. Musaeum ini menjadi pusat intelektual dan budaya di Alexandria, tempat orang-orang terpelajar melakukan pertemuan kelompok dan berbagi pengetahuan.
Kedua, Ptolemy II Philadelphus (285-247 SM), yakni Pengganti Ptolemy I yang memperluas dan memperkaya koleksi perpustakaan; berbagai manuskrip dikumpulkan dari segala penjuru Mesir dan beberapa kerajaan yang menjadi “patronage clients” dinasti Ptolemy ini. Iapun dianggap sebagai raja yang mengembangkan perpustakaan ini sekitar 282 SM dan 246 SM. Kontribusinya meliputi beberapa hal. a) Ia memulai pengumpulan buku-buku yang akan menjadi dasar koleksi perpustakaan untuk meningkatkan pengetahuan dan budaya masyarakat. Disebutkan bahwa Raja Mesir ini membelanjakan harta kerajaannya untuk membeli buku dari seluruh pelosok negeri, sehingga terkumpul 442.800 buku dan 90.000 berbentuk ringkasan tak berjilid; b) Ia juga membangun Serapeum, sebuah perpustakaan kecil yang berada di tempat pemujaan Dewa Serapis, yang bertahan hingga peristiwa penghancuran perpustakaan; c) ia memerintahkan warga pendatang di Alexandria untuk memberikan beberapa buku, sehingga koleksi perpustakaan meningkat pesat; d) Surat Aristeas menjelaskan bahwa Ptolemy II Philadelphos memerintahkan pembuatan terjemahan bahasa Yunani dari Kitab-kitab Taurat, yang kemudian dikenal sebagai Septuaginta, membentuk tim yang terdiri tujuh puluh dua orang penerjemah yang dikirim ke Mesir dari Yerusalem atas permintaan pustakawan perpustakaan Aleksandria. Ia pun memberikan penghargaan berlimpah kepada para penerjemah dan mereka kembali ke rumah. Hal ini menunjukkan bahwa penerjemahan ini dianggap sangat penting dan dihargai oleh pemerintah
Ketiga, Ptolemy III Euergetes (247-221 SM), yakni Raja lain dari Dinasti Ptolemaik yang terus memperluas koleksi perpustakaan. Ia juga mencari perangkat untuk mendukung aktivitas perpustakaan dan mengumpulkan buku-buku dari seluruh wilayah Mediterania, Rhodes, hingga Athena. Koleksi perpustakaan meningkat pesat di bawah kendalinya. Ia pun memastikan bahwa perpustakaan ini memiliki banyak pustakawan dan ahli yang terlatih untuk menyalin naskah-naskah tersebut. Mereka menggunakan teknik salinan yang canggih untuk memastikan bahwa salinan yang dibuat akurat dan berkualitas tinggi di bawah kontrol kerajaan.
Selain dari kalangan raja, terdapat nama lain yang perlu disebut yakni Demetrius dari Phaleron. Ia adalah seorang cendekiawan dan orator Yunani yang diasingkan dari Athena ke Mesir. Demetrius dari Phaleron berperan sebagai inisiator utama dalam pengembangan Perpustakaan Alexandria dengan membayangkan dan meyakinkan Ptolemy I dan Ptolemy II untuk membangun sebuah perpustakaan universal yang berisi koleksi yang luas dan beragam. Ia meyakinkan Ptolemy I Soter untuk membangun Perpustakaan Alexandria sebagai bagian dari kompleks kuil yang dikenal sebagai Mouseion atau Temple to the Muses. Demetrius membayangkan sebuah perpustakaan yang menyimpan salinan dari setiap buku yang ada di dunia, sebuah institusi yang menandingi institusi-institusi lain di Athena. Gagasan ini menunjukkan visi besar Demetrius untuk menciptakan sebuah perpustakaan universal yang berisi koleksi yang luas dan beragam.
Dalam Aristeas disebutkan bahwa Ptolemaios II Philadelphos memerintahkan Demetrius, penjaga perpustakaan Aleksandria, untuk melengkapi perpustakaan dengan semua salinan buku di seluruh dunia. Demetrius kemudian menganjurkan agar kitab-kitab Hukum Taurat juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Dengan dukungan dari Ptolemy I, Demetrius mengorganisir pembangunan Mouseion, sebuah kompleks kuil yang mencontoh Lyceum Aristoteles di Athena. Mouseion ini merupakan pusat untuk intelektual dan kuliah filosofi serta diskusi, dan menjadi tempat yang ideal untuk mendirikan Perpustakaan Alexandria. Meskipun tidak ada catatan pasti bahwa Demetrius secara langsung terlibat dalam pengumpulan buku-buku, namun gagasannya tentang perpustakaan universal telah mempengaruhi keputusan Ptolemy II untuk mengumpulkan buku-buku pertama untuk koleksi perpustakaan. Ptolemy II Philadelphus membeli seluruh perpustakaan Aristoteles dan mengumpulkan buku-buku dari berbagai sumber, termasuk teks-teks dari Mesir, Asyur, Persia, serta teks-teks Buddhis dan kitab suci Ibrani.
Peran Perpustakaan
Kontribusi Pada Pengembangan Keilmuan
Surat Aristeas menjelaskan bahwa perpustakaan ini bukan hanya tempat penyimpanan buku, tetapi juga pusat ilmu pengetahuan yang aktif. Perpustakaan ini digunakan untuk menyalin naskah-naskah, menyunting karya-karya penyair dan dramawan Yunani Klasik, serta mendirikan perpustakaan penelitian untuk para ahli dari segala bidang. Perpustakaan ini menjadi magnet bagi para ilmuwan (cendekiawan) dari seluruh dunia yang datang dari berbagai penjuru dunia, terutama di wilayah Mediterinia untuk belajar ilmu, bertukar ide, dan menghasilkan karya bersama. Perpustakaan ini tidak hanya tempat koleksi buku-buku (dengan berbagai variannya), tetapi menyelenggarakan juga pengembangan komunitas-komunitas intelektual untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dalam keseluruhan, Perpustakaan Alexandria berperan sebagai pusat ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan keilmuan pada zaman kuno, meskipun tidak secara langsung melahirkan tokoh-tokoh terkenal. Perpustakaan ini menyimpan Pinakes, yakni katalog pertama yang berisi 120 volume tentang isi perpustakaan. Karya ini merupakan usulan Kallimakhos dari Kirene dan merupakan contoh bagaimana Perpustakaan Alexandria tidak hanya menyimpan karya-karya matematika, tetapi juga karya-karya lain yang relevan dengan ilmu pengetahuan dan budaya.
Misalnya, Contohnya, matematikawan Euclid menciptakan konsep geometri. Meskipun tidak secara langsung lahir dari perpustakaan, karyanya yang berjudul “Elementa” (atau “Kitab Dasar”) dipelajari dan disalin di perpustakaan ini. Buku ini membahas konsep geometri dasar dan telah menjadi rujukan utama dalam pembelajaran matematika selama berabad-abad. Melalui karya Euclid, Perpustakaan Alexandria membantu dalam pengembangan konsep geometri yang lebih sistematis. “Elementa” tidak hanya menjelaskan teorema-teorema matematika, tetapi juga memberikan bukti-bukti yang kuat untuk setiap teorema, membuatnya menjadi salah satu sumber paling penting dalam sejarah matematika. Hal ini memungkinkan perkembangan teori-teori matematika yang lebih maju.
Tokoh lain adalah Heron. Ia merupakan salah satu ilmuwan Mesir Kuno yang merintis penggunaan mesin uap. Ia juga membuat karya yang berjudul “Metrica” dan “Geometrica”. Karya-karya Heron membahas tentang matematika praktis, termasuk penggunaan matematika dalam arsitektur dan teknik. Karya-karya Heron membahas tentang matematika praktis, termasuk penggunaan matematika dalam arsitektur dan teknik. Heron juga menciptakan mesin uap pertama di dunia, menunjukkan kemampuan ilmuwan di Perpustakaan Alexandria dalam mengembangkan teknologi dan teori matematika. Karya-karya yang disimpan di Perpustakaan Alexandria tidak hanya digunakan oleh para ilmuwan di masa itu, tetapi juga berpengaruh pada pembelajaran matematika di masa depan. Buku-buku tersebut menjadi rujukan utama bagi para matematikawan selama berabad-abad, memungkinkan perkembangan teori-teori matematika yang lebih maju
Aktivitas penelitian dan pembelajaran yang intensif di perpustakaan ini memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan teori-teori astronomi. Ptolemy, yang juga dikenal sebagai Ptolemy dari Alexandria, adalah seorang astronom yang hidup pada abad ke-2 Masehi. Ia bekerja di Perpustakaan Alexandria dan mengembangkan model alam semesta yang merupakan model astronomi yang paling berpengaruh selama berabad-abad. Model ini, yang dikenal sebagai “Almagest,” membahas tentang posisi dan gerakan bintang-bintang, planet-planet, dan bulan dalam sistem tata surya yang dipercaya pada saat itu. Ia mengembangkan model alam semesta yang merupakan model standar sampai adanya karya dari al-Biruni, Ibn Bathuthah, dan karya Copernicus, yakni lebih dari 1.000 tahun. Karyanya yang paling terkenal adalah “Almagest,” yang membahas tentang posisi dan gerakan bintang-bintang, planet-planet, dan bulan dalam sistem tata surya yang dipercaya pada saat itu.
Berbeda dengan Ptolemy, Eratosthenes membuktikan bahwa Bumi itu bulat dengan menggunakan pengamatan bayangan matahari dan perhitungan yang akurat. Hasilnya sangat dekat dengan pengukuran modern menggunakan satelit, yaitu sekitar 40.030 km.Dengan mengetahui bahwa Syene dan Alexandria berjarak 800 km dan mengukur sudut bayangan matahari yang berbeda, Eratosthenes dapat menggunakan proporsi sederhana untuk menemukan lingkar Bumi. Ia menemukan bahwa 7 derajat adalah 1/50 dari 360 derajat (satu lingkaran penuh). Dengan demikian, ia dapat memperkirakan lingkar Bumi sekitar 40.000 km. Terkait teori Bumi bulat dari Eratosthenes, teori ini telah diterima dan dipengaruhi oleh para filsuf dan ilmuwan Yunani Kuno. Tokoh-tokoh seperti Aristoteles dan Archimedes juga berkontribusi pada teori Bumi bulat, sehingga menunjukkan bahwa ide ini telah menjadi bagian dari diskusi ilmiah pada masa itu
Kepala perpustakaan terakhir, Theon dari Alexandria, adalah seorang matematikawan dan astronom yang hidup di paruh abad keempat Masehi. Dia mengajar di Mouseion dan merupakan contoh bagaimana ilmuwan di Perpustakaan Alexandria berkontribusi pada bidang astronomi. Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang Theon, putrinya Hypatia justru jauh lebih terkenal sebagai seorang filsuf dan ahli matematika.
Selebihnya Demetrius dari Phaleron perlu juga disebut. Ia merupakan seorang negarawan Athena yang membantu Ptolemeus II dalam membangun Perpustakaan Alexandria. Ia berperan penting dalam pengembangan perpustakaan ini. Pada masanya, perpustakaan ini menjadi bagian dari lembaga penelitian yang lebih besar, Mouseion, yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni). Tujuan utama perpustakaan ini adalah untuk mengumpulkan semua buku yang ditulis dalam bahasa Yunani dan buku karya bangsa lain, menyunting karya-karya penyair, dan dramawan Yunani Klasik dalam bentuk asli, serta mendirikan perpustakaan penelitian untuk para ahli dari segala bidang.
Dalam bidang bahasa dan sastra, perpustakaan ini pun disebut-sebut berperan dalam mengoleksi karya-karya sastra dari Homer, Plato, dab Aristoteles. Karya-karya mereka sampai ke generasi masa sekarang melalui hasil suntingan dari Zenodetus dan Arisrachus. Melalui kreativitas mereka, bahasa dan sastra dari Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan wilayah Mediterania lainnya dapat dikoleksi dan dipelihara.
Salah satu kegiatan utama perpustakaan adalah membuat salinan dari naskah-naskah yang ditemukan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa informasi dan pengetahuan yang terkandung dalam naskah tersebut dapat disebarkan dan disimpan dengan baik. Contohnya, ketika Athena meminjamkan naskah klasik Yunani kepada Mesir, Mesir hanya memulangkan salinan kepada Athena, sementara naskah asli disita oleh pihak perpustakaan. Ini merupakan salah satu upaya Perpustakaan Alexandria untuk melakukan kolaborasi internasional dalam mengumpulkan naskah-naskah dari berbagai belahan dunia.
Perpustakaan Alexandria menggunakan kombinasi pengumpulan, salinan, penggunaan pustakawan dan ahli, penggunaan papyrus, kolaborasi internasional, dan struktur bangunan yang dirancang khusus untuk mengelola ribuan gulungan papyrus dan bentuk naskah-naskah lainnya. Oleh karena itu, wajar apabila perkembangan sains, teknologi, dan seni berkembang cukup pesat pada jamannya. Pada satu sisi, ipteks yang sudah berkembang di Mesir sebelumnya terus dipelihara, pada sisi lain terdapat geliat kuat dalam pengembangan dan inovasi ipteks yang baru. Banyak hasil reportase perkembangan ipteks baru yang menjadi koleksi perpustakaan ini. Koleksinya mereportase dan mendokumentasi bidang-bidang matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, retorika, hukum, tragedi, komedi, puisi, bahasa, dan lainnya.
Penggunaan Papyrus dan Pemeliharaannya
Dalam pemeliharaan berbagai koleksinya, perpustakaan Alexandria menggunakan kombinasi bangunan yang terbenam dalam tanah, kolam air untuk mengatur suhu, dan struktur bangunan yang dirancang khusus untuk memanfaatkan ruang dan arsitektur dalam penyimpanan papyrus. Perpustakaan ini pun memiliki banyak pustakawan dan ahli yang terlatih untuk memelihara dan menyalin naskah-naskah tersebut. Mereka menggunakan teknik salinan yang canggih untuk memastikan bahwa salinan yang dibuat akurat dan berkualitas tinggi, demikian juga dengan pemeliharaannya. Walaupun demikian, banyak teknik konservasi papyrus yang digunakan di Perpustakaan Alexandria pada masa lalu tidak secara spesifik dapat direkonstruksi pada masa sekarang karena banyak detail tentang proses ini telah hilang seiring waktu.
Perpustakaan Alexandria memanfaatkan papyrus dalam koleksinya dengan sangat luas dan beragam. Papyrus ini dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk, memungkinkan perpustakaan untuk menyimpan koleksi yang sangat luas. Koleksi papyrus-nya mencakup berbagai jenis ilmu pengetahuan dan karya sastra. Hal ini menjadikan perpustakaan ini sebagai magnet bagi para cendekiawan dari seluruh dunia, yang datang untuk mempelajari berbagai ilmu, bertukar ide, dan bersama-sama menghasilkan karya yang kini dikenal dengan istilah “co-working space”. Koleksi papyrus-nya lebih dari 700.000 gulungan papirus dan manuskrip dari berbagai penjuru dunia. Koleksi ini mencakup berbagai jenis naskah, termasuk karya-karya para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, naskah-naskah kuno dari Mesir dan Mesopotamia, serta berbagai buku tentang berbagai ilmu pengetahuan, matematika, hingga astronomi.
Perpustakaan Alexandria tidak hanya mengumpulkan papyrus dari dalam negeri, tetapi juga dari luar Mesir. Mereka melakukan pengumpulan melalui kapal-kapal yang singgah di pelabuhan Alexandria. Setiap buku dan naskah yang ditemukan akan disalin, dan salinannya akan diberikan sementara naskah asli akan disita oleh pihak perpustakaan. Setiap kapal dan penjelajah yang singgah ke Mesir akan digeledah untuk mencari buku dan naskah. Naskah-naskah yang ditemukan akan disalin, dan salinannya akan diberikan sementara naskah asli akan disita oleh pihak perpustakaan.
Masa Kemunduran
Ketika Julius Caesar (100-44 SM) menguasai Mesir, aktivitas dan reputasi perpustakaan ini mulai menurun. Meskipun, Julius Cesar tidak secara langsung berkontribusi pada perkembangan perpustakaan, namun kehadirannya di Alexandria pada tahun 48 SM berdampak pada masuknya koleksi Romawi (dan jajahannya) ke perpustakaan ini. Pada saat bersamaan perpustakaan ini kehilangan sebagian besar koleksi perpustakaan, terutama papyrus lokal karena dibawa ke Romawi. Pada masa Julius Cesar ini, perpustakaan Alexandria mengalami kemerosotan pengelolaan dan aktivitasnya akibat kekurangan dana. Pada masanya, perpustakaan Alexandria telah mengalami kemunduran karena kurangnya dukungan dan perawatan yang memadai. Pada masa Romawi setelahnya, perpustakaan tidak lagi menjadi pusat intelektual yang hebat seperti pada masa Dinasti Ptolemaik awal. Banyak manuskrip hilang antara tahun 48 SM dan 415 M, tetapi apa saja yang hilang tidak diketahui
Meskipun Julius Caesar sering kali disalahkan atas hancurnya Perpustakaan Alexandria, faktanya perpustakaan itu sudah rapuh jauh sebelum kebakaran besar terjadi. Kebakaran yang terjadi pada tahun 48 SM, yang mungkin disebabkan oleh perang saudara atau serangan balasan, telah menghancurkan sebagian besar koleksi perpustakaan. Meskipun tidak ada catatan pasti tentang kebakaran besar yang menghancurkan perpustakaan, cerita yang menyebar mengatakan bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh Julius Caesar. Namun, hal ini tidak terbukti secara historis. Faktanya, perpustakaan sudah rapuh jauh sebelum kebakaran terjadi, dan kerusakan berulang-ulang telah menghancurkan koleksi perpustakaan.
Namun, kebakaran ini bukanlah satu-satunya penyebab hancurnya perpustakaan. Pada 145 SM, kepala perpustakaan, Aristarchus, dan sebagian besar intelektual Alexandria, memberikan dukungan kepada Ptolemy VII (Philopator) atas saingannya Physcon. Setelah Physcon naik takhta, ia menangkap dan membunuh Philopator serta mengusir elit intelektual yang berada di pihak Philopator, termasuk Aristarchus yang melarikan diri ke pulau Siprus. Pada masa pemerintahan Ptolemy VIII (Physcon) ini, perpustakaan benar-benar mengalami kelemahan karena pergulatan dinasti yang melemahkan struktur perpustakaan.
Perpustakaan tersebut telah mengalami kerusakan berulang-ulang sebelumnya, terutama setelah kebakaran pada tahun 270-275 M, yang mungkin disebabkan oleh pemberontakan di Alexandria. Pada tahun 270 hingga 275, pemberontakan meletus di Alexandria, dan serangan balasan Kekaisaran Romawi tampaknya menghancurkan sisa dari perpustakaan ini. Cabang perpustakaannya di Serapeion mungkin dapat bertahan lebih lama, tetapi juga dihancurkan pada tahun 391. Pada tahun 391 ini, Theophilus, Uskup dari Alexandria, mengawasi penghancuran Kuil Serapis, yang menjadi tempat penyimpanan sebagian koleksi perpustakaan. Meskipun tidak diketahui apakah ada buku yang masih tersimpan di sana, kehilangan perpustakaan ini merupakan kehilangan besar bagi peradaban dunia.
Reaksi masyarakat Mesir dan sekitarnya terhadap kehilangan Perpustakaan Alexandria tidak dapat direkonstruksi secara pasti karena tidak ada catatan langsung dari masyarakat pada saat itu. Namun, beberapa sumber memberikan gambaran tentang bagaimana kehilangan perpustakaan ini mungkin dipandang oleh masyarakat dan para cendekiawan pada saat itu. Sampai sekarang, masih banyak misteri yang belum terungkap tentang hilangnya Perpustakaan Alexandria. Hal ini telah membuat banyak peneliti dan sejarawan terus-menerus mencari jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi. Keterbukaan ini menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat tertarik dengan sejarah dan kehilangan perpustakaan ini.
Dalam keseluruhan, hancurnya Perpustakaan Alexandria disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor politik, kerusakan berulang-ulang, dan kurangnya dukungan yang memadai. Sekalipun banyak koleksi yang hilang, namun warisan intelektual yang terkoleksi di perpustakaan ini yang memengaruhi perkembangan ipteks hingga saat ini. Kehilangan Perpustakaan Alexandria merupakan kehilangan besar bagi peradaban dunia. Meskipun banyak karya yang dirujuk sebagai bagian dari koleksi perpustakaan masih ada sampai sekarang, kehilangan perpustakaan ini masih terasa hingga saat ini. Kehilangan ini tidak hanya menghambat perkembangan intelektual umat manusia selama ribuan tahun, tetapi juga mengingatkan pentingnya menjaga dan memelihara pengetahuan dan budaya
Pembukaan Kembali Tahun 2002
Setelah sekian lama waktunya terbengkalai, pada tahun 1974 Unesco menetapkan wilayah ini sebagai “Warisan Dunia” dan menekankan perlunya rekknstruksi dan revitalisasi perpustakaan Alexandria ini sebagai salah satu ikon dari spirit ipteks dan kebersamaan. Pada tahun 2002, Bibliotheca Alexandrina dibuka sebagai penghormatan kepada perpustakaan besar di zaman kuno. Perpustakaan ini memiliki ruang pajang untuk delapan juta buku dan menampung berbagai fasilitas seperti pusat konferensi, museum, galeri seni, dan laboratorium restorasi naskah.
Pembukaan Perpustakaan Alexandria masa Mesir Modern tidak secara langsung terkait dengan pembukaan perpustakaan yang dibangun oleh Dinasti Ptolemaik pada abad ketiga SM. Namun, terdapat beberapa “benang merah” faktual yang relevan tentang sejarah dan keberadaan Perpustakaan Alexandria. Pada masanya perpustakaan ini tetap menjadi simbol penting dalam sejarah ilmu pengetahuan dan budaya dunia.
Epilog
Dalam keseluruhan, Perpustakaan Alexandria berperan sebagai pusat ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan keilmuan pada zaman kuno. Kehilangan perpustakaan ini masih menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia untuk membangun kembali pusat-pusat pengetahuan dan pembelajaran.
Dadan Rusmana, Wakil Rektor I UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Citations:
[1] Perpustakaan Alexandria – Ensiklopedia Sejarah Dunia https://www.worldhistory.org/…/perpustakaan-alexandria/
[2] Legenda Perpustakaan Alexandria, Harta Karun Dunia yang Hangus … https://lib.um.ac.id/…/legenda-perpustakaan-alexandria…/
[3] Bibliotheca Alexandrina – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia … https://id.wikipedia.org/wiki/Bibliotheca_Alexandrina
[4] Sejarah Perpustakaan Zaman Mesir Kuno https://duniaperpustakaan.com/…/sejarah-perpustakaan…
[5] Perpustakaan Aleksandria – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia … https://id.wikipedia.org/wiki/Perpustakaan_Aleksandria
[6] Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Hilangnya Perpustakaan Alexandria? https://nationalgeographic.grid.id/…/siapa-yang…
[7] https://www.ninevibe.com/statement/948/rasionalisasi-teori-bumi-bulat
[8] https://kwikkiangie.ac.id/home/2024/06/15/perdebatan-bumi-bulat-vs-bumi-datar-fakta-dan-mitos/
[9] https://www.zenius.net/blog/bumi-bulat-datar
[10] https://www.diklatkerja.com/blog/mengungkap-misteri-bentuk-bumi-dari-teori-homer-hingga-pengukuran-eratosthenes
[11] http://deleigeven.blogspot.com/2014/04/perpustakaan-alexandria-kemegahan-ilmu_23.html
[12] https://www.ninevibe.com/statement/896/erastothener-dan-christopher-columbus-patahkan-mitos-teori-bumi-datar
[13] https://www.popmama.com/big-kid/10-12-years-old/daffa.almaas/bukti-nyata-yang-menegaskan-bahwa-bumi-memang-bulat
[14] https://www.liputan6.com/citizen6/read/3226763/2000-tahun-lalu-ini-cara-orang-yunani-kuno-buktikan-bumi-bulat
Berita Lainnya
-
Publikasi yang Baik Etalase Institusi
27 December 2024 -
Umrah dan Keterjagaan Ibadah
27 December 2024 -
Tebar Cinta Kasih, Kuatkan Bangunan Kemanusiaan
25 December 2024